Touring GT125 Eagle Eye; Membingkai Kebersamaan Dari Tapal Kuda ke Walidwipa

Dering pesawat telepon di sudut kamar Hotel Ijen View menuntun ruh kami kembali ke alam sadar. Jarum jam tepat menunjuk angka 5, petugas hotel membangunkan kami melalui wake up call.

Ini adalah hari kedua perjalanan touring kami dengan mengendarai matik terbaru Yamaha GT125 Eagle Eye yang dikatakan Yamaha sebagai rajanya motor matik. Sehari sebelumnya, kami telah menempuh perjalanan skitar 230 km dari Kota Malang. Di hari kedua ini kami akan melanjutkan perjalanan menuju Bali. Sebuah kota yang lebih terkenal di mata para turis asing ketimbang nama negara dimana pulau itu berada.

Secangkir kopi panas dan beberapa potong kue kering mengawali hari yang dingin pada Jumat 24 Januari 2014. Sepanjang malam, hujan terus membasahi kawasan Gunung Ijen dan hawa dingin menggerayangi tubuh kami, menusuk terasa hingga ke sumsum tulang.

Matahari seperti malu menampakkan wajahnya, awan mendung terus menggelayut di langit Bondowoso. Usai mengisi perut dengan sarapan dan minuman hangat, kami bersiap di atas jok GT125 Eagle Eye dengan membentuk dua baris memanjang ke belakang. Bendera start dikibarkan, saatnya memulai perjalanan yang lebih menantang bersama GT125 Eagle Eye.

Jalan menyempit, formasi GT125 Eagle Eye berubah menjadi satu baris memanjang ke belakang. 22 unit Eagle Eye yang ditunggangi para jurnalis dan anggota komunitas Yamaha mengular menuju kawasan wisata Kawah Gunung Ijen yang ada di wilayah Cagar Alam Taman Wisata Ijen di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.

Kawah Ijen sendiri merupakan sebuah danau kawah yang bersifat asam di puncak Gunung Ijen di ketinggian 2,368 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan kedalaman danau 200 meter. Luasnya mencapai 5,466 hektare. Selain keunikan kawah dengan warna-warninya yang berpadu dengan birunya langit saat cuaca cerah serta blue flame atau api berwarna biru saat malam, kegiatan para penambang belerang berbalut kisah pedih kehidupan mereka juga jadi daya tarik untuk disaksikan. Demi bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para penambang belerang itu melakoni pekerjaan yang lekat dengan bahaya. Mereka memikul bebatuan belerang dari bibir kawah sampai ke kawasan parkiran sejauh lebih dari 2 km melewati trek terjal berbatu dengan beban pikulan seberat 40 kg. Dalam sehari mereka bisa mengangkut 70-110 kg belerang.

Perlahan matik Yamaha bermata Elang membawa kami ke dataran tinggi bersama turunnya rintik hujan. Lagi, ketangguhan jelajah GT125 Eagle Eye diuji di sini. Melintasi jalan menanjak, basah dan berpasir, grip ban melekat dengan baik. Mesin 125cc SOHC, satu silinder, 4 tak, berpendingin cairan, mampu memproduksi tenaga cukup besar untuk ukuran matik di kelasnya. Yamaha mengatakan mesinnya mampu memproduksi tenaga maksimal hingga 11,4 PS pada 9000 rpm. Sementara torsi maksimum yang mencapai 10,4 Nm mampu dihasilkan di putaran mesin lebih rendah, 6500 rpm. Sehingga kami tak perlu memuntir tuas gas lebih dalam untuk mencapai kecepatan yang kami inginkan.

Di sisi lain, akselerasi yang agresif di putaran bawah juga dihasilkan berkat dukungan teknologi injeksi YMJet-FI dan teknologi balap MotoGP yang disematkan pada mesinnya, Forged Piston dan DiASil Cylinder. Teknologi itu membuat kerja mesin semakin ringan dan minim gesekan.

Putaran roda GT125 Eagle Eye membawa kami semakin tinggi dan tinggi. Kabut semakin tebal dan hawa dingin memaksa kami untuk menggenggam grip kemudi lebih erat untuk menahan hawa dingin yang mulai menyetubuhi kami. Kabut semakin tebal, jarak pandang kami semakin terbatas dan bahkan kami tak bisa melihat sisi kiri dan kanan kami dengan jelas. Di kanan kami hanya terlihat samar tebing bebatuan dan pepohonan yang tumbuh subur di tanah Gunung Ijen. Sementara di sisi kiri kami jurang yang cukup dalam. Hati-hati, tetap fokus dan ketangguhan GT125 Eagle Eye melintasi jalan basah berliku dengan kontur menanjak dan menurun jadi kunci lancarnya perjalanan kami.

Di sini, giliran lampu GT125 Eagle Eye yang diuji. Tak hanya tampil keren seperti mata Elang, pendaran cahayanya mampu menerangi dan sedikit menambah jarak pandang jalan yang diselimuti kabut tebal dan hujan. Kami nyaris tak bisa melihat dengan jelas rombongan yang ada di depan kami, hanya bayang-bayang saja. Suara sirine dari motor dan mobil voorijder yang mengawal perjalanan kami serta kedipan lampu sein GT125 Eagle Eye yang sengaja diaktifkan menjadi penanda bawah jarak kami dengan yang lain tak terlalu jauh.

Tapi kami bisa melihat cukup jelas barisan GT125 Eagle Eye yang ada di belakang kami melalui kaca spion. Dari kaca spion, terlihat barisan lampu yang membentuk mata Elang mengikuti arah laju motor yang kami tunggangi.

Setelah sekitar 70 km perjalanan dari Hotel Ijen View di Bondowoso, kami pun tiba di gerbang Taman Wisata Alam Kawah Ijen yang juga jadi titik awal para pelancong mendaki menuju kawah. Lokasi ini berada di ketinggian sekitar 1.850 mdpl yang sekaligus jadi lokasi istirahat kami yang pertama. Meski kabut masih menyelimuti kawasan ini, tapi kami bisa sedikit melihat eksotisme hutan tropis di tanah Jawa Timur.

Di lokasi ini keakraban semakin terjalin. Teh panas menemani kebersamaan kami mengulang cerita perjalanan tadi sebelum kami bergerak kembali menuju Bali. Asap mengepul keluar dari tiap hembusan nafas di tengah hawa dingin di kawasan itu.

Roda GT125 Eagle Eye kembali berputar membawa kami menuju Banyuwangi. Hujan mulai reda meninggalkan jejak di atas aspal basah dan berpasir. Turunan curam, tikungan tajam, jalan tak mulus, harus kembali dihadapi para peserta touring bertema Fly The Eagle GT125.

Usai melumat turunan, tanjakan terjal serta tikungan tajam, kami tiba di titik pemberhentian kedua di Ketapang Indah Hotel and Resto. Trek Bondowoso – Banyuwangi jadi perjalanan terberat kami dimana kami harus melawan rasa lelah, kantuk, dingin yang menjadi satu menggerogoti tubuh kami. Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga dimana kami dan tunggangan harus bertahan hingga batas ketahanan.

Sekitar 3 jam kami beristirahat di tempat yang langsung menghadap ke Pulau Bali untuk makan siang dan menunaikan ibadah sholat Jum’at bagi peserta turing muslim.

Jarum jam menunjuk angka 2, matahari menyengat tubuh kami yang masih merasakan dinginnya kabut Ijen. Kami kembali bersiap melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Ketapang sebelum menyeberangi selat Bali dengan kapal feri menuju pelabuhan Gilimanuk. Belum juga bergerak meninggalkan Ketapang Indah Hotel and Resto, hujan kembali turun begitu deras. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang kami lalui di bawah guyuran hujan.

Setelah melewati gerbang pemeriksaan dan tiket feri, satu-persatu GT125 Eagle Eye memadati geladak bawah kapal feri yang jadi ruang parkir kendaraan. 30 menit kami berada di atas perairan selat Bali bersama feri yang membawa kami ke sebuah pulau, pulau yang jadi surga dunia bagi para pelancong dari berbagai belahan dunia, Bali.

Cahaya halilintar yang keluar dari langit kelabu seperti menghujam ke dasar laut saat kami berada di geladak atas. Sesekali gemuruhnya terdengar memekakkan telinga dan menciutkan nyali kami untuk berlama-lama di geladak atas tanpa atap. Khawatir tersambar petir, kami kembali turun ke geladak antara (geladak tengah) dan berkumpul dengan para jurnalis peserta turing Fly The Eagle GT125.

Sambil menikmati hembusan angin laut dan memandang kapal-kapal berlayar menembus batas horison, tawa renyah menghangatkan suasana kebersamaan kami. Kisah-kisah dan pengalaman masa lalu yang lucu jadi bumbu perbincangan kami sebelum nakhoda menyandarkan kapal di pelabuhan Gilimanuk.

Tak terasa 30 menit berlalu begitu cepat. Di depan kami sebuah gerbang menuju salah satu surga dunia sudah menanti. Kami pun harus bergegas kembali ke geladak bawah tempat kendaraan terparkir.

Hujan lebat menyambut kedatangan kami di Pulau Seribu Pura. Bahkan saat GT125 Eagle Eye mulai keluar dari kapal, hujan semakin lebat hingga butirannya terasa menusuk-nusuk ke tubuh.

Di lahan parkir pelabuhan Gilimanuk kami mengatur barisan sebelum melanjutkan perjalanan menuju Singaraja, lokasi yang jadi tujuan akhir turing Fly The Eagle GT125.

Jalan aspal dari pelabuhan Gilimanuk menuju kota sangat halus. Kami pun memuntir tuas gas hingga batas yang kami rasa cukup aman untuk melesat di bawah guyuran hujan lebat. Terlihat sesekali jarum penunjuk kecepatan menyentuh angka 90 km per jam (kpj). Dan di titik terjauh dari tikungan yang ada di hadapan kami, gas kami tutup dan kecepatan turun drastis hingga ke kecepatan 30-40 kpj.

Meski terhalang lebatnya hujan, mata kami masih bisa merekam pemandangan indah dan rimbunnya pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan menuju Maharaja, Singaraja. Pepohonan tumbuh lebat di sisi kiri dan kanan jalan yang kami lalui, seakan memayungi tamu-tamu yang memasuki daerah tujuan para pemburu wisata alam di Bali.

Jalan lurus seolah tak berujung sesekali kami lalui di antara lebatnya hutan bakau. Dan sesekali sekelompok kera berjejer di besi pembatas jalan seperti ikut menyambut kedatangan kami.

Semangat kami semakin membuncah saat roda GT125 Eagle Eye nemapaki tanah Kalibukbuk menuju Lovina. Cuaca mulai cerah, secerah hati kami yang tak sabar ingin segera tiba di penghentian terakhir touring ini untuk menikmati surga di pulau yang disebut oleh Sri Kesari Warmadewa dalam Prasasti Blanjong yang dibuat pada tahun 913 M sebagai Walidwipa.

Touring-GT125-Eagle-Eye---Di-Feri Touring-GT125-Eagle-Eye---Keluar-Feri Touring-GT125-Eagle-Eye---Masuk-Feri Touring-GT125-Eagle-Eye---Menuju-Ijen Touring-GT125-Eagle-Eye---Menuju-Ijen-2

Leave a comment